Kamis, 25 November 2010

Jalur Pantura, Jalan Daendels, Jalan Penuh Darah!


 Herman Willem Daendels, the iron hand!

 
Minggu kemarin, sepulang dari “meliput” wayang wahyu di Kroya dan Purwokerto, saya harus traveling lagi menyusuri jalan yang sama (pantura), hanya saja sekarang lebih jauh lagi. Kali ini tujuan saya adalah kota Malang di Jawa Timur. Perjalanan kali ini bersifat pribadi yaitu menghadiri perkawinan adik di kota apel tersebut. Saya, tentu saja tidak akan mereportasekan perkawinan adik saya itu yang bersifat seremonial itu. Biarlah itu menjadi dokumentasi keluarga yang dinikmati oleh keluarga saya saja.

“Nafsu” menulis saya tidak langsung langsung nongol begitu saya duduk di bis Lorena yang berangkat dari Bogor. Di awal perjalanan tentu saja saya menikmati perjalanan ini. Dinginnya AC bis, nyaman dan leganya nya tempat duduk di bis eksekutif ini, yang memungkinkan saya bercanda dengan anak saya yang tampak heboh karena ini merupakan perjalanan naik bis terjauhnya (buat saya dan istri juga), hanya berlangsung sekian jam saja. Untuk selanjutnya hawa kebosanan pun mulai menyerang. Membayangkan saya harus duduk di dalam bis selama 20-an jam berikutnya sudah membuat pantat saya panas. Memasuki Cikampek dan kemudian indramayu berlanjut ke Cirebon, hawa mengantuk dan melamun pun mulai menyerang. Sambil melamun dan melayangkan pandangan keluar jendela bis, mendadak saya jadi teringat sejarah mengenai pembuatan jalur pantura ini, yang saat kita SMP dalam pelajaran sejarah tentu dikenalkan dengan riwayat pembuatan jalan Anyer-Panarukan dengan “pimpro”-nya gubernur jendral Hindia Belanda Herman Willem Daendels. Ya, jalan itulah yang sekarang terkenal dengan nama jalur pantura yang menjadi pilihan banyak pemudik di kala waktu mudik lebaran tiba. Jalan ini juga menjadi urat nadi perekonomian penting di pesisir utara pulau Jawa, dari Jawa Barat hingga Jawa Timur, benar-benar dari ujung ke ujung!

Saat kita melaju di atas kendaraan, terkadang kita tidak menyadari bahwa pembuatan jalan ini penuh dengan haru biru dan kepahitan sejarah. Bahwa sudah menjadi kenyataan pahit bahwa jalan ini dibuat dengan tumpahan keringat, darah dan nyawa ratusan ribu para pekerja paksa alias pekerja rodi bangsa Indonesia. Tidak ada jaminan keselamatan, tidak ada asuransi kesehatan, tidak ada jaminan konsumsi dan snack apalagi UMR! Namanya juga sedang dijajah, semuanya serba dipaksa, kalau nggak mau kerja ya didor atau ditubles saja, wassalam deh, mampus kowe inlander!! kata si kumpeni.

Eksistensi jalan pantura ini memang seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi kita gemes, marah dan benci kepada si Daendels ini yang dengan sadisnya memerintahkan ratusan ribu penduduk Jawa untuk untuk membuat jalan sepanjang 1000-an kilo meteran ini, tanpa bayaran, apalagi asuransi! Ngucapin matur nuwun aja boro-boro. Tapi di sisi lain, peninggalan “giga proyek”nya itu sangat penting dan bermanfaat di jaman berikutnya, hingga detik ini. Pembuatan jalan Anyer Panarukan ini dimulai tahun 1809 dan selesai tahun 1810.

Para pekerja rodi, gunung-pun ditembus!

 
Proyek ambisius dan gila yang awalnya guna kepentingan militer dan jasa pos Belanda itu memang selesai dalam kurun waktu 1 tahun saja, sebuah prestasi yang luar biasa tapi dengan unsur penindasan dan kekejaman yang tiada taranya pula. Bayangkan saja, jika penguasa lokal dan rakyat di sepanjang proyek jalan itu, jika tidak memenuhi target proyek yang dibebankan, kepalanya bakalan di mutilasi dan digantung seperti buah kedondong di pinggir jalan, pokoknya sadis jek! Sebuah shock teraphy efektif yang berakibat jalan itu kelar sesuai rencana. Kerja rodinya pun beratnya nggak ketulungan. Dengan peralatan seadanya mereka harus membabat hutan atau membelah gunung. Meninggal karena kelaparan, siksasan dan penyakit sudah menjadi pemandangan sehari-hari para pekerja.

Dulu jalan itu dinamai Grote Postweg (Jalan Raya Pos) atau populer disebut Jalan Daendels. Panjang jalan di sisi utara Jawa ini dari Anyer di ujung barat sampai Panarukan di ujung Timur, dengan panjang total mencapai kurang lebih 1000 km, terpanjang di dunia saat itu. Kalau dulu sudah ada, pasti jalan ini masuk Guiness Book Of Record! Baik dari kecepatan penyelesaiannya maupun spektakuler proyeknya.

Pembangunan jalan ini memakan korban jiwa sangat banyak, namun dinilai oleh para sejarawan Indonesia sekarang sebagai kemajuan penting. Berkat jalan ini bagian-bagian terpencil di Jawa menjadi mudah dicapai dalam hitungan hari, tidak lagi berpekan-pekan. Ketika Daendels tiba di Jawa dia langsung memutuskan untuk membangun jalur transportasi di sepanjang bagian utara Jawa, demi melindungi pulau penting di bawah kekuasaan Belanda ini dari serangan Inggris. Dengan adanya jalan ini mobilisasi pasukan Belanda akan menjadi sangat cepat.

Daendels, saat tiba di Anyer....


 Pembuatan jalan Deandels saat itu melakukannya dalam dua tahapan, tahap pertama merupakan pembuatan jalan untuk membuka poros Batavia – Banten pada tahun 1808, pada masa itu Daendels memfokuskan kegiatannya pada pembangunan dua pelabuhan di utara (Merak) dan di selatan (Ujung Kulon). Jalur ini melalui garis pantai dari Batavia menuju Carita, Caringin, menembus Gunung Pulosari, Jiput, Menes, Pandeglang, Lebak hingga Jasinga (Bogor). Tahap kedua dimulai tahun 1809, Dari Anyer melalui Pandeglang jalan bercabang dua menuju Serang (utara) dan Lebak (selatan). Dari Serang, rute selanjutnya Ke Tangerang, Jakarta, Bogor, Puncak, Cianjur, Bandung, Sumedang, Cirebon hingga Panarukan, sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Jalan inilah jalan yang di sebut jalan utama atau jalan protokol, tetapi itu tidak berarti bahwa tidak ada cabang-cabang jalan lainnya yang dilewati oleh Daendels.

Di daerah tertentu, banyak rute khusus yang sengaja di bangun oleh Daendels pada masa itu terutama daerah pusat Kabupaten karena untuk mempermudah transportasi pengangkutan rempah-rempah keluar daerah tersebut. Banten merupakan tempat yang paling banyak memiliki cabang-cabang Jalan Deandels sebab Banten cukup banyak menghasilkan rempah-rempah. Anyer dijadikan titik km nol karena kota ini sudah di pola Daendels untuk mempermudahkan pengangkutan hasil bumi dari Banten menuju dua pelabuhan yaitu pelabuhan Merak dan Pelabuhan Ujung Kulon. Banten sendiri sudah dilokalisasi dalam segi hasil bumi oleh Daendels karena Banten Subur dan Kaya akan hasil buminya terutama rempah-rempah.

Ribuan kilometer, ribuan nyawa korbannya.....

Hingga saat ini, sebagian besar jalan Daendels masih terpakai bahkan yang lama sengaja diperbaharui supaya dapat digunakan. Jalan Daendels yang tidak dapat digunakan lagi adalah daerah Pontang dan Bayah, karena hancur dan tidak diperbaiki kembali. Sementara itu Daendels sempat memerintahkan pembuatan jalan di selatan Pulau Jawa, rutenya di mulai dari sebelah barat Jawa yakni; Bayah menuju Pelabuhan Ratu, terus ke selatan ke daerah Sukabumi, Cimanuk dan seterusnya hingga ke Pangandaran, Purwokerto dan Yoyakarta. Jalan Daendels yang lebih di kenal oleh masyarkat adalah jalan bagian utara Jawa, ini disebabkan karena jalan di utara melalui rute yang berhadapan langsung dengan rute Batavia, sedangkan jalan bagian selatan Jawa selain kondisi jalannya rusak banyak juga yang terputus seperti jalan Bayah sampai Citorek.

Patung Cadas Pangeran : Pangeran Kornel (Pangeran Kusumah Dinata) menyalami Daendels dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan menggenggam keris, melambangkan perlawanan dan penentangan terhadap proyek Daendels.....


Banyaknya korban pada pembuatan jalan Batavia-Banten masih simpang siur, menurut beberapa sejarawan Indonesia, yang meninggal sekitar 15.000 orang dan banyak yang meningal tampa dikuburkan secara layak. Walaupun demikian Daendels semakin keras menghadapi rakyat, ia tidak segan-segan memerintahkan tentaranya menembak mati rakyat yang lalai atau tidak mau bekerja dalam pembuatan jalan apapun alasannya.

Dan sekarang, jalan itu sekarang sudah berusia 102 tahun-an. Kalau manusia tentu sudah kakek-kakek. Berhubung ini jalan, kondisinya malah makin keren, makin lebar dan panjang serta makin mulus karena diaspal atau dihotmix, tapi di beberapa tempat juga makin macet.

Lamunan saya tentang kekejaman Daendels terhenti akibat rengekan anak saya yang baru bangun dari tidurnya. Sejurus kemudian kami semua heboh dengan pemandangan di sekitar Sidoarjo berupa tanggul setinggi 5 meteran yang ternyata tanggul penahan lumpur lapindo. Sayang, dari bis saya tidak bisa melihat lumpurnya karena tertutup tingginya tanggul.

Dalam khayalan saya melihat Daendels dengan wajah dingin dan angkuhnya berdiri di puncak tanggul sambil telunjuknya menunjuk-nunjuk kesana kemari memberi perintah. Sinar matahari membuat tanda pangkat di sekujur bajunya berkilauan. Di kanan-kirinya para pengawal dan serdadu siap siaga dengan senapan panjang berujung bayonet. Salah seorang serdadu tanpa ekspresi terlihat sedang mengelap bayonetnya. Sekilas ada warna merah di sana. Di tanah di dekatnya, tergolek seorang pribumi, kurus kering tanpa baju, diam tak bergerak, tanpa nafas lagi di rongga dadanya. Perlahan warna merah mengalir dari bawah tubuhnya yang diam. Ratusan pribumi lainnya sibuk bekerja mencangkuli tanah dalam diam, meninggikan tanggul seinci demi seinci. Cepat-cepat saya hapus khayalan horor itu…. takut kebawa mimpi, hiiyyyy……

Sumber :
http://anangku.blogspot.com/2008/08/ekspedisi-anyer-panarukan.html
http://www.nederlandsindie.com/daendels-perintis-infrastruktur/
http://humaspdg.wordpress.com/2010/04/10/kilasan-sejarah-antara-anyer-dan-panarukan/
http://xdinx.wordpress.com/2009/02/20/cadas-pangeran-sumedang-west-java/
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3314735&page=5

5 komentar:

  1. siph pak...guru sejarah ya????
    masuk blogq juga ya..masih pemula

    BalasHapus
  2. kemarin saya melewati pantura menuju surabaya melewati jalan raya Daendels..
    saat melewati bengawan solo saya bingung...
    dulu Daendels bikin jalan itu otomatis melewati beberapa sungai...tapi saya tdk pernah melihat jembatan jaman belanda melewati sungai selebar bengawan solo...
    saya benar2 tidak punya bayangan ttg itu...akhirnya kepikiran sampai sekarang...
    bisa kasi info tentang itu???

    BalasHapus
  3. Salam kenal.thank's tulisannya bagus bangkitkan rasa nasionalisme

    BalasHapus
  4. @Bu Rhie : wah, untuk sementara saya belum punya data mengenai pembangunan jembatan2-nya bu, nanti kalau ada waktu saya survey datanya ke Jasa Marga ya bu... lam kenal.

    BalasHapus
  5. Patut di pertanyaan kembali. . di lihat dari rentang tahun pengerjaannya aja sudah tidak masuk akal. . Dengan menebang pohon. dan membelah gunung dan survei nya bagaimana dengan medan yang tidak dia kenal. . mungkin saja jalan itu sudah ada dan di buat oleh nenek moyang kita. . sejarah nenek moyang kita sudah begitu banyak di putar balikkan dan di klaim oleh mereka. .

    BalasHapus