Kamis, 18 November 2010

Sabetan Wayang Wahyu Romo Handi!

Keindahan dibalik layar : adegan Gabriel menemui Maria

Ketika membicarakan wayang kulit, mungkin di dalam benak kita yang terbayang adalah tokoh-tokohnya semisal Bima, Arjuna, Kresna, Abimanyu, Anoman dan tentu saja para punakawan kocak : Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Tapi pernahkah anda melihat atau mendengar wayang kulit dengan tokoh-tokoh Yesus, bunda Maria, Yusuf, prajurit Romawi dan rakyat Yudea? Masih terasa asing di telinga? Tidak hanya anda, saya pun saat ditanya pertama kali mengenai jenis wayang ini menjawab dengan gelengan kepala. Berhubung kecintaan saya pada wayang kulit (wayang purwa) sudah begitu dalam, maka wayang jenis inipun menarik perhatian saya. Nah wayang wahyu inilah yang akan saya tulis kali ini.


Minggu kemarin dalam sebuah “tugas budaya”, saya memang berkesempatan meliput latihan dan pementasan wayang wahyu, sebutan untuk wayang jenis ini. Wayang ini memang di awal penciptaannya bertujuan mengabarkan atau mewartakan ajaran agama Katholik. Pertama kali diciptakan oleh Br Timotheus L Wignjosoebroto FIC di surakarta (Solo) tanggal 2 Februari 1960. Tentu saja jika saya yang muslim ini menulis tentang wayang wahyu, bukanlah dalam rangka muatan religius, tentang Katholik atau Islam, bukan, tetapi lebih kepada konsep budaya, “nguri-uri kabudayan Jawi”. Karena dalam tulisan saya nanti agama bukanlah menjadi acuan lagi, semuanya melebur dalam gerbong budaya, dalam hal ini wayang wahyu.

Ya romo, ya dalang.......

Awal mulanya adalah saat saya berkenalan dengan Romo Agustinus Handi yang biasa dipanggil dengan romo Handi di Sukabumi saat dia mengikuti Sidang Agung Gereja Katholik se-Indonesia. Pertemuan pertama ini memang membuat saya terkesan akan pembawaan romo yang masih muda itu, tutur katanya rapi, lembut, akrab dan mengesankan. Dari obrolan singkat malam itu, romo Handi menawarkan undangan untuk melihat latihan wayang wahyu di Kroya (Cilacap) sekaligus pementasannya di Purwokerto. Memang romo yang satu ini punya hobi ndalang yang merupakan kegemarannya sejak kecil, maklum berasal dari keluarga dalang.

Maka, perjalanan 10 jam dari Jakarta ke Kroya tanggal 7 November 2010 yang penuh dengan kemacetan dan kepenatan terbayar di malam harinya saat saya bertemu dengan kelompok Hamangunsih, kelompok wayang wahyu-nya romo Handi yang berada di pastoran Karangmangu Kroya. Romo Handi yang malam itu akan memulai latihan tampil santai, sarungan plus kaos oblong. Saya pun berkenalan dengan para nayaga (penabuh gamelan) dan para pesindennya. Rata-rata sudah berusia lanjut. Semua menyambut dengan ramah tamah, sapa dan senyum, khas pedesaan masyarakat Kroya. Sekitar 20-an orang memenuhi sebuah ruangan semacam aula kecil yang digunakan sebagai tempat berlatih. Di ruangan sudah tersedia lengkap perlengkapan ndalang berupa beber/layar, gamelan dan sound system. Saya yang memang berasal dari Kebumen dan mempunyai konsep bicara yang “selevel” dengan wong-wong Kroya ini pun sejenak asyik bicara “ngapak-ngapak” dengan para sahabat baru ini.

Mereka semua berlatih secara serius tapi santai, disertai kepulan asap rokok yang terus mengepul. Untung ventilasi ruangan sangat lebar, kalau tidak saya yang anti rokok ini bakalan terbatuk-batuk. Para nayaga yang berasal dari beragam profesi itu (ada yang guru, tukang mie ayam, petani, pedagang, dll) dan mayoritas muslim itu berlatih dengan penuh semangat, kompak, guyup rukun tanpa memandang perbedaan agama yang ada. Sungguh saya yang terbiasa di Jakarta dan berulangkali melihat tayangan televisi mengenai betapa perbedaan sering menjadi penghalang menjadi terharu. Betapa tidak, di sini, semangat perbedaan malah menjadi bumbu penyedap yang mampu memunculkan potensi budaya luar biasa. Latihan wayang wahyu yang malam itu menampilkan lakon kisah Yesus dari kelahiran hingga disalib itu berlangsung hingga jam 11-an malam. Selama latihan, tentu saja canda tawa, cletukan dan guyonan khas orang Banyumas berulangkali terdengar diantara mereka. Di antara mereka juga beberapa kali saling mengingatkan, baik ke pak dalangnya ataupun ke nayaga-nya. Sungguh suasana latihan yang harmonis. Saya pun duduk “ngethepes” di samping pak dalang sambil sekali-kali memfoto mereka.

Setelah selesai latihan dan berbincang sejenak dengan para dalang dan nayaga seputar falsafah dan perkembangan wayang wahyu, juga sedikit perjalanan hidup romo Handi, saya pun berpamitan guna kembali ke hotel. Tidak lupa saya berjanji akan menghadiri pementasan di malam keesokan harinya di Purwokerto.

Di malam berikutnya, bertempat di Keuskupan Purwokerto, jalan Gereja no. 3, kelompok wayang wahyu Hamangunsih dengan dalang romo Handi pun mementaskan wayang wahyu yang sesungguhnya. Tidak seperti pada waktu latihan, semua “crew” terlihat tampil necis dan memukau. Semua, baik dalang, nayaga dan para sinden menggenakan busana adat Jawa, berupa baju beskap dan kebaya, lengkap dengan blangkon dan kondenya. Romo Handi pun terlihat ganteng dan berkharisma, Mengenakan busana dalang hitam lengkap dengan blangkon berhiaskan manik-manik. Di pentas ini performa sang dalang terlihat lebih “sadis” dan lepas. Sabetan para wayangnya terlihat lebih powefull. Lakon yang dipentaskan sama dengan waktu latihan yang saya lihat di malam sebelumnya. Terlihat para penonton dengan asyik mengikuti jalannya cerita. Sesekali mereka tertawa jika sang dalang mengeluarkan guyonan-guyonan lucu. Semua menikmati jalinan lakon yang disajikan. Dari sejak kehidupan Maria, kelahiran Yesus, pertempuran prajurit cacah jiwa Romawi melawan rakyat Yudea, goro-goro yang mengocok perut hingga pensaliban Yesus.

Situasi pementasan......

Adegan kelahiran Yesus di kandang domba menyihir mereka agar tidak melepaskan tatapan mata dari beber wayang. Gending yang sedih mendayu mengiringi penombakan Yesus di tiang salib, menimbulkan hawa penuh haru. Di tengah-tengah pagelaran ada selingan pengumpulan dana untuk korban gunung Merapi. Uang sekitar 2 juta-an pun terkumpul guna disumbangkan.

From Jakarta to Kroya......

Sekitar jam 11 malam, pertunjukan selama 3 jam itupun usai. Dan seperti biasa, romo Handi, dalang muda yang ramah inipun menyempatkan diri menemani untuk berbincang-bincang mengenai wayang wahyu. Selepas itu saya pun meninggalkan lokasi sekaligus berpamitan kepada romo Handi dan teman-teman nayaga guna kembali ke Jakarta esok paginya. Sukses buat romo Handi, sukses buat Hamangunsih, semoga tetap selalu hambangun kasih………….

6 komentar:

  1. wah!!

    kagum berat ama ke-bhineka tungal ika-an kelompok wayang Hamagunsih :D

    Hebat ya bisa asimilasi budaya pertiwi ama kultur yerusalem dan sekitarnya... salut2! Harus dilestarikan ini :D

    cuma yg jadi masalah kultur jawanya masih kurang kentel di corak2 nya y.. walaupun secara keseluruhan sangat mengagumkan!

    BalasHapus
  2. pak herrywongkeb senang baca tulisan tentang warisan budaya yang masih di sukai banyak orang bahkan dunia. o ya, apakah grup wayang ini bisa diundang untuk acara-acara di gereja misalnya paskah atau pun natal?


    andrie
    andriepasaribu@yahoo.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa pak Andrie, saya sudah kirim no. HP romo Handi ke email bapak. Thanks sudah mampir di blog saya, salam kenal.

      Hapus
    2. Nunsewu, perkenalkan nama saya James Darmawan, saya mahasiswa s2 di ISI jogja pak Herry..

      Kebetulan mengangkat tesis tentang wayang wahyu ini juga pak Herry. Untuk itu, bolehkah saya juga mendapatkan contact person Romo Handi? saya ingin banyak menanyakan seputar wayang wahyu ini kepada beliau..

      Terima kasih sebelumnya, email saya : james.dar@gmail.com

      Maturnuwun, berkah dalem pak Herry..

      Hapus
  3. rama PC,
    siiipp...

    -bhege-

    BalasHapus