Jumat, 28 September 2012

Tawuran : Jangan Jadi Kurawa!


Tangisan ibunda Alawy Yusianto Putra, tangisan kita, tangisan Indonesia.


Saat membaca dan melihat sajian berita di Koran dan telivisi mengenai tawuran pelajar antara SMA 70 dan SMA 6 pada 24 September 2012, entah mengapa saya teringat tulisan Pitoyo Amrih di novel wayangnya, “Memburu Kurawa”. Sebagai penggemar cerita wayang, saya menyadari benar ternyata memang banyak peristiwa kehidupan ini yang harus berkaca pada cerita wayang sebagai “bayangan kehidupan”, termasuk juga tawuran. Demikian yang ditulis pengarang yang selalu menulis cerita wayang itu : “Mereka begitu banyak. Tidak mudah untuk dihafal, begitu gampang dilupakan. Tapi begitulah, mereka terlanjur dilahirkan dan sudah menjadi suratan takdir terabaikan di usia kanak-kanak mereka. Apa yang ada di kepala mereka hanyalah apa yang menurut mereka baik untuk diri mereka. Tak pernah berfikir tentang perasaan orang lain, tak pernah berfikir untuk berbagi menciptakan suasana bahagia bersama. Yang mereka bisa lakukan tak lain hanyalah menebar angkara dan menciptakan keresahan serta ketakutan”.


Sambil meresapi barisan kalimat itu, hati saya ikut menangis meratapi kematian Alawy Yusianto Putra, pelajar SMA 6 yang menjadi korban tawuran itu. Saya tidak mengenal korban, saya bukan gurunya dan bukan siapa-siapanya. Tapi sebagai sesama orang tua, saya bisa merasakan haru biru orang tuanya. Tetesan air mata dan penyesalan tidak akan memupus kesedihan itu. Melihat foto jasadnya-nya yang tersebar di internet, saya benar-benar bergidik. Darah merah kontras membasahi seragam putih-putihnya. Hati orang tua mana yang tidak remuk melihat anaknya menemukan jalan kematian seperti itu. Entah orang berperasaan macam apa yang tega melakukan hal itu kepada sesamanya.

Memang terlalu ekstrim dan sembrono untuk menganalogikan para pelajar harapan bangsa itu dengan wadyabala Kurawa, sebuah bangsa dalam dunia pewayangan yang hobbynya jotos-jotosan itu. Terlalu dini pula untuk menghakimi para pelajar itu sebagai insan yang terabaikan. Tapi sebuah perilaku yang selalu mengedepankan hawa emosi, amarah dan kekerasan tanpa memandang sisi kemanusiaan, kasih sayang dan welas asih memang salah satu laku yang dianut Kurawa. Jalan menipu penuh kelicikan dan keangkaramurkaan dengan santai mereka nikmati demi mewujudkan ambisi pribadi. Ya, sejak kecil memang Kurawa hobby banget dengan kerusuhan, gontok-gontokan dan membuat kekacauan. Jangankan dengan orang lain, antar saudara sendiri yang jumlahnya 100 orang itupun mereka jarang akur. Demikian yang tertulis di “Memburu Kurawa”. Dan seandainya para pelajar itu yang tawuran sempat mendapat wejangan kamanungsan/kemanusiaan dari Begawan Abiyasa, kakek Kurawa atau dari Resi Bhisma, panglima perang Hastinapura yang bijaksana, kemudian menerapkana ajarannya setiap hari, mungkin kita masih bisa melihat senyum Alawy Yusianto Putra, pelajar SMA 6 yang tewas mengenaskan saat asyik menikmati makan soto itu. Beberapa hari kemudian, seorang pelajar lain, Deny Januar kembali bersimbah darah tersungkur menjadi korban tawuran antara SMK Yake Kampung Melayu dengan SMK Kartika Zeni. Siang itu, keluarganya hanya menerima jazadnya yang terbujur kaku tanpa bisa mendengar kembali sapaan atau kembali melihat senyum pemuda itu.

Young and dangerous, bukan! ini bukan wajah kita, please.......


Sebagai pendidik, tentu saja saya tidak langsung mencari si embek alias kambing hitam untuk menjadi sasaran kesalahan. Begitu banyak insan pendidikan yang tidak serta merta menjadi terdakwa dalam sebuah tawuran pelajar. Ada siswa, guru, pengawas, Kasi Kecamatan, Dinas pendidikan, hingga Kementrian Pendidikan Nasional. Di luar itu ada kita semua yang menjadi bagian dari kesatuan sosial integral bernama masyarakat. Menentukan siapa yang salah memerlukan proses dan penelusuran yang panjang dan yang lebih sering adalah berupa wacana dan paparan para ahli yang ternyata belum menyelesaikan akar masalah. Para ahli pendidikan, pakar sosial hingga pejabat telah mengeluarkan statement dan teori yang terlihat ampuh tapi hingga kini belum terlihat hasilnya. Atau jangan-jangan kita sebagai warga masyarakat ikut memikul beban kesalahan yang menyebabkan terjadinya tawuran atau bentuk kekerasan lainnya. Tawuran sudah bukan menjadi monopoli urusan pelajar yang melakukannya, tapi sudah menjadi bagian dan tanggung jawab kita sebagai kesatuan sosial masyarakat. 

Sebagai sesama pendidik saya merasa ada kesalahan, kekurangan dan ketidak sempurnaan dalam hal membina akhlak, positive thingking dan penanaman jiwa welas asih kepada siswa. Mungkinkah budaya kekerasan yang tertayang di film, televisi dan games, yang menjadi santapan mereka hamper setiap hari sudah merubah perilaku santun mereka. Atau sistematika kehidupan sosial perkotaanlah yang merubah wajah-wajah polos mereka. Para ahli pendidikan dan sosial dengan mudah akan menemukan jawaban atas fenomena tersebut. Permasalahannya adalah apakah ada implementasi dan tindakan nyata yang tepat guna dan efektif untuk menyetop budaya tawuran? Sebagian memang sudah diakukan. Dari mulai penggundulan rambut, mengeluarkan siswa, penggabungan hingga penutupan sekolah. Tapi tawuran kembali terjadi, pesona tawuran ibarat cahaya api lampu bagi para laron. Terang benderang penuh pesona untuk didekati tapi akhirnya membakar sayap-sayap mereka hingga mereka tak mampu lagi terbang, terjatuh, merayap dan menemukan jalan kematian mereka.

Agak susah saya membayangkan tapi kira-kira mungkin begini, saat pelajaran, anak-anak dengan tekun menyimak, saat sholat dzuhur tiba, anak-anak pun berjamaah dengan khusu’ sholat, tapi saat pulang sekolah, mereka dengan bersemangat menyiapkan berbagai peralatan tempur : samurai, golok, celurit, gir atau minimal batu. Dalam sekejap wajah polos para pelajar itu berubah menjadi beringas. Dalam sesaat aktivitas akademis berubah menjadi aktivitas fisik penuh kekejaman. Dengan gagah mereka bertempur membela yang namanya kesetiaan dan solidaritas. Kesetiaan dan solidaritas kepada siapa? Entahlah mungkin kepada teman, senior, sekolah atau justru tanpa motif apa-apa. Yang jelas event tawuran memberi mereka semangat, encouragement dan “keceriaan” yang tidak mereka dapatkan saat di dalam pagar sekolah. Jalanan, pentungan dan aneka senjata, lengkap dengan umpatan dan kata-kata kasar adalah seni yang indah di dalam pikiran mereka.

Sedikit berfilsafat, adakah beda antara tawuran dan perang? Wikipedia menyebut perang adalah sebuah aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit, adalah kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara dua atau lebih kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan. Jika kata “untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan” diganti dengan penyebab tawuran, maka tawuran adakah sebuah skala kecil dari perang. Tanpa angkatan bersenjata, tanpa senapan (tapi diganti dengan senjata yang lain), tanpa peralatan perang dan tanpa kenaikan pangkat. Tragisnya, tawuran dilakukan oleh bangsa sendiri, dan dengan penyebab yang sangat absurd, membuat mereka yang bernalar geleng-geleng kepala. Mereka, anak-anak belia itu menantang musuhnya dengan membusungkan dada, tanpa rasa takut (karena banyak temannya) mereka menyosong musuh sambil mengayunkan golok, celurit, samurai, gir dan aneka senjata lainnya. Pikiran dan kesadaran mereka lenyap tertutup oleh candu nikmatnya melukai lawan. Sekolah hanyalah menjadi wadah penyaluran hobby kekerasan mereka.

Lantas, salahkah mereka? Para pelajar belia yang memang ditakdirkan untuk berfikir pendek dan mengedepankan emosi itu. Atau kita sebagai orang dewasalah yang salah? Kembali marilah kita berkaca pada diri kita sendiri. Berkaca pada profesi saya sebagai guru, masih tetapkah kita mengawasi siswa kita saat bukan jam pelajaran? Tahukah para bapak ibu guru apa yang mereka lakukan di sudut-sudut sekolah saat jam istirahat. Mereka sedang membahas hukum Newton atau sedang memperbincangkan strategi tawuran. Saat keluar sekolah, apakah kita tahu kalau mereka langsung pulang atau melenggang menuju gang sempit tempat mereka menyembunyikan samurai, golok atau celurit. Tahukah kita, jika mereka saling memanas-manasi dengan kata-kata yang tidak pantas diucapkan oleh generasi santun di facebook dan twitter? Saya mengamini pendapat beberapa ahli yang menjelaskan bahwa semua peristiwa yang terjadi di masyarakat global berawal dari mata air unit kesatuan sosial terkecil bernama keluarga.  dan sebagai orang tua, tahukah kita dengan siapa anak kita bergaul, apa isi tas sekolah mereka, benarkah mereka pergi ke tempat les, benarkah mereka belajar di rumah teman? Sebagai orang tua, seberapa jauh kita membekali anak-anak kita dengan kemapanan sikap dan mental, sehingga tidak mudah dipengaruhi dan diprovokasi? Sebagai orang dewasa yang lebih dahulu pintar dibanding mereka, marilah kita koreksi, tayangan, tontonan dan aktivitas apa yang kita benamkan di otak-otak mereka setiap hari? Sudah adilkah kita memberi waktu kepada anak-anak kita, jam untuk bermain, ber-internetan, bersosialisasi dengan temannya dengan waktu untuk beribadah dan menanamkan kesadaran spiritual mereka? Sebagai orang yang melahirkan mereka, berapa lama waktu yang kita gunakan untuk bercengkerama dengan mereka guna menanamkan budi pekerti dan menanamkan kecintaan kepada keluarga dan sesama? Sebagai pembuat kebijakan, masih teruskah kita disibukkan dengan agenda-agenda sekolah unggulan, akreditasi, sertifikasi, RSBI tanpa diimbangi dengan implementasi pembuatan program kepada anak didik yang edukatif, membumi dan berkualitas? Masih akan teruskah negara kita dibanjiri dan dibombardir oleh arus modernisasi, eropanisasi, dan K-pop-isasi serta perilaku hidup konsumtif yang perlahan tetapi pasti akan menyapu  bersih kearifan lokal kita? Jadi sebenarnya, mereka yang salah atau kita yang kurang kontrol? 

Bukan seperti ini kelulusan akhir sebuah sekolah.....


Terus terang saya tidak rela, jika generasi muda itu menjadi bangsa Kurawa, karena sesakti-sakti-nya bangsa Kurawa dia akan terus dihujat dan selalu menemukan jalan kebinasaan yang nista. Dan tugas kitalah para orang dewasa yang akan mencetak mereka menjadi bangsa Kurawa atau bangsa Pandawa. Maka, marilah kita siapkan untuk mereka, perilaku yang baik, perkataan yang baik, buku-buku serta tontonan yang baik, dan perkenalkan kepada mereka ajaran-ajaran yang baik. Tugas kitalah, orang dewasa, untuk menjadi Begawan Abiyasa atau Resi Bhisma yang akan membimbing generasi muda itu agar tidak selalu menuruti hawa nafsunya. Jika tidak, maka bersiap-siaplah kita jika mereka akan tumbuh menjadi bangsa Kurawa, yang dalam dunia pewayangan sudah dipastikan akan binasa. Jika baris kalimat tersebut tidak membuat kita takut karena menganggap itu hanyalah cerita pewayangan, maka kembalilah kepada falsafah wayang sebagai bayangan kehidupan. Dan sebagai bayangan, dia akan selalu mengikuti kehidupan kita alias nyata……..



1 komentar:

  1. Bagus pak tulisannya, tapi sayang, kebenaran yang ada di tulisan pak herry cuma akan jadi wacana yang tidak akan pernah terwujud selama kepemimpinan yang di contohkan pemimpinnya masih sama, yaitu perang dalam kondisi tidak melibatkan fisik, yang berimbas ke peperangan fisik buat masyarakat.. :) tetep semangat menulis pak, siapa tau nanti pemimpinnya ada yang baca tulisan pak herry.. jadi anak didiknya pak herry gak ada yang jadi bangsa kurawa.. hehe

    BalasHapus