Jumat, 05 Oktober 2012

Road To.. Wayang in Symphony : Menunggu Parikesit.


Narsis dulu sebelum berangkat ke Museum Wayang.



Seminggu setelah hati saya haru biru karena “tawuran berdarah” antara SMA 70 dan SMA 06 di wilayah Bulungan pada 24 September 2012, peraasaan saya sedikit terobati saat membawa murid-murid saya ke wilayah Kota, Jakarta Barat. Rasa sedih sebagai orang tua dan rasa kecewa sebagai pendidik memang akan lama sirna, tapi seperti pepatah mengatakan, the show must go on maka sayapun kembali sibuk mencurahkan cipta, rasa dan karsa kepada aktivitas saya, mendidik putra-putri harapan bangsa di Lakeside Montessori School. Wilayah Kota yang saya maksud di awal tulisan, persisnya adalah Musium Wayang. Haah, wayang lagi, wayang lagi…. Entahlah, mungkin kecintaan saya kepada wayanglah yang menyebabkan saya selalu bersinggungan dengan budaya adiluhung ini. Selain itu satu nama yang membuat saya bersemangat membawa murid-murid saya ke musium wayang adalah Rohmad Hadiwijoyo. Nama itu tertulis sebagai salah satu pengisi Road To.. Wayang in Symphony, acara yang membuat saya harus mengunjungi Museum Wayang di daerah Kota itu. Rohmad Hadiwijoyo adalah seorang dalang, pengusaha sekaligus pengarang buku Bercermin Di Layar-Realita Antar Cerita, yang bukunya menjadi salah satu koleksi perpustakaan sekolah dan menjadi salah satu bacaan favorit saya, karena tulisan-tulisannya mengenai sinergisitas kehidupan manusia dengan kehidupan wayang begitu dalam mengena. Terkadang inspirasi saya menulispun bersumber pada gaya tulisannya. Keberadaan sosoknya jelas membuat acara ini tidak bisa dianggap main-main. Ini adalah acara berbobot dan berkualitas. Nama lain yang tertulis di undangan sebagai pengisi acara dan tidak kalah penting adalah Dr. H. Taufik Yudi Mulyanto, mantan dosen saya di IKIP Jakarta yang kini menjabat Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta.
Bersama saya, ada 3 guru lain yang ikut pada Sabtu yang cerah itu, Mr. Nano, Mr. Ardi dan Mr. Ajun. Selain itu ada 15 anak SMP dan SMA yang menjadi sasaran acara tersebut. Tidak saya sangka, mereka semua ternyata begitu antusias mengikuti acara budaya yang buat mereka mungkin baru pertama kalinya itu. Sejak berkumpul di halaman sekolah, semua terlihat ceria penuh semangat, tidak sabar untuk berangkat menuju Musium Wayang.

Road To.. Wayang in Symphony, itulah acara yang membuat kami, sekitar 20 orang, guru dan murid tertarik menghadirinya. Selain itu tentu saja, ada nama Dahlia Sarjono, ibunda Ile, salah satu murid saya. Ibu inilah yang menjadi event organizer acara tersebut. Acara gratis, bermanfaat, makan siang gratis, siapa yang bisa menolaknya? he.. he.. Dengan menggunakan 3 mobil (thaks to Dante, Acia and Nicola’s parents) jam 8 pagi kami pun meluncur dari Lakeside Montessori School di Cibubur menuju musium wayang di Jalan Pintu Besar Utara, Jakarta Barat. Perjalanan memakan waktu kurang lebih 45 menit. Menginjakan kaki di kota tua, tempat Musium Wayang berada membuat kami seperti kembali ke masa lalu. Gedung-gedung tua nan eksotis membuat ingatan kembali melayang ke jaman-nya si Pitung dan para kompeni yang menguber-ubernya. Ya, di Jalan Pintu Besar Jakarta Barat ini memang berderet puluhan bangunan tua, yang sayangnya sebagian lepas dari perawatan, sehingga terlihat kumuh, rusak dan kotor.

Museum Wayang sendiri pada awalnya merupakan sebuah gereja tua yang didirikan pada tahun 1640 dengan nama De Oude Hollanddsche Kerk, yang merupakan tempat peribadatan bagi bangsa Belanda yang tinggal di Batavia waktu itu. Gereja itu beralih fungsi menjadi Museum Wayang pada tahun 1974 saat H. Ali Sadikin menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta.

Memasuki lobby Museum Wayang, senyum ramah ibu Dahlia Sarjono beserta panitia yang kebanyakan wanita menyambut kami. Ile dan Gayli, kakak beradik pun sudah berada di sana. Setelah mendaftar di bagian registrasi, kamipun memasuki aula Museum Wayang yang tidak terlalu besar itu. Di dalam, panitia terlihat masih sibuk mempersiapakan segala sesuatu. Deretan wayang golek menghiasi sisi kanan dan kiri panggung. Di bagian tengah, panitia sibuk mengecek peralatan presentasi, seperti laptop, proyektor dan sound system. Semua panitia terlihat masih berusia mudia, penuh semangat. Deretan bangku-bangku di depan panggung masih banyak yang kosong, membuat kami untuk dengan bebas duduk di deret bagian depan. Satu-persatu para peserta lainpun memasuki ruangan dan akhirnya memenuhi seluruh bangku di depan panggung. Kebanyakan dari mereka adalah siswa-siwa dari sekolah lain di Jakarta. Garis besar acara ini memang terbilang komplit seperti gado-gado. Ada muatan budaya yaitu mengenalkan wayang pada para pelajar, ada juga muatan edukasi yaitu workshop fotografi, digital imaging dan music digital mixing. Format acaranya sendiri bisa dikatakan bergaya anak muda banget, walau materi yang diberikan sedikit berat.

Beberapa sambutan mengawali acara, diantaranya dari ketua Yayasan Lontar, John H. McGlynn dan Ibu Neneng, ketua panitia acara. Acara inti dimulai saat pak Rohmad “mendalang” menceritakan lakon makutarama kepada para audience yang sebagian generasi muda itu. Sengaja kata mendalang saya beri tanda kutip karena memang pak Rohmad tidak benar-banar mendalang tapi lebih tepat dikatakan bercerita. Maklum untuk sebuah pagelaran wayang kulit dibutuhkan persiapan yang sangat kompleks dan merepotkan, dari mulai wayangnya, sinden, gamelan, nayaga hingga tata pakelirannya. Tapi toh, anak-anak tetap menyimak dengan wajah serius meresapi alunan kata demi kata sang dalang. Pak Rohmad menceritakan lakon Wahyu Makutarama, sebuah episode dalam Mahabarata yang mengandung falsafah kepemimpinan tingkat tinggi. Wahyu adalah anugerah dewa kepada bangsa wayang. Dikisahkan, pemilik wahyu ini ditakdirkan akan menjadi raja Hastina dan akan memerintah dengan adil dan bijaksana serta mampu membawa negara Hastina kepada kemakmuran. Bangsa Kurawa dan Pandawapun berlomba untuk mendapatkan wahyu ini, yang menurut petunjuk dewa akan turun melalui perantara begawan Kesawa Sidi yang bermukim di gunung Kutarunggu. Wahyu yang dikira berupa senjata mematikan oleh Kurawa itu ternyata berupa wejangan berfalsafah tinggi yang berisi sifat seorang pemimpin sejati.

Inti dari Wahyu Makutarama adalah bahwa seorang pemimpin harus memiliki kebijakan-kebijakan yang dilambangkan dengan 8 simbol alam semesta yang dikenal sebagai Hasta Brata. Garis besar makna Hasta Brata dalam watak kepemimpinan adalah bahwa seorang pemimpin harus seperti bumi yang mengerti apa yang dibutuhkan rakyatnya dan memberikan kepada siapa saja tanpa pilih kasih. Pemimpin harus seperti air mampu menghidupi dan bisa menyatu dengan rakyat. Pemimpin harus seperti angin, dia ada dimana saja dan tidak diskriminatif. Pemimpin harus seperti bulan yang bisa memberi penerangan di kala kegelapan. Pemimpin harus seperti matahari yang memberi kehidupan dan bisa menjadi petunjuk. Pemimpin harus seperti api, mampu memerangi kejahatan dan membakar semangat rakyatnya. Pemimpin harus seperti bintang yang bisa memberi kesejukan, kegembiraan serta menjadi penentu arah kebijakan. Terakhir, seorang pemimpin harus memiliki watak seperti mendung atau awan, menyimbolkan dimana setiap ada kegelapan pasti ada solusi dan pencerahan. Akhirnya Arjuna-lah yang berhasil mendapatkan Wahyu Makutarama itu, namum wahyu itu tumurun kepada cucunya, Parikesit yang akhirnya berhasil menjadi raja Hastina. Terus terang, hati saya trenyuh mendengar piwulang ki dalang ini. Trenyuh dan berharap, jika semua pemimpin kita memiliki sifat Hasta Brata ini, insya Allah Indonesia akan adil makmur, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja. Lenyap sudah pemimpin yang hanya memenuhi ambisi pribadi dan golongannya, tetapi muncul pemimpin yang memikul amanat rakyat. Pemimpin yang tidak bisa tidur sebelum melihat seluruh rakyatnya sejahtera.

Panitia dan para master....



Makna Hasta Brata dalam fotografi dipaparkan secara lebih gamblang oleh fotografer senior, Fendi Siregar. Sang kakek yang masih tetap terlihat segar itu memberi arahan kepada para audience mengenai pengayaan visual Hasta Brata sebagai sasaran tembak lensa kamera. Bagaimana dan momen apa saja yang bisa diabadikan dengan kamera jika kita memilih ingin memotret angin, air, bulan, matahari, dan yang lainnya. Teknik, tips dan trik fotografi berikutnya dijelaskan oleh Theo Chang, seorang fotografer muda yang menjadi buruan bakal calon pengantin karena keindahan foto-foto pre-weddingnya. Dia juga salah satu fotografer profesional yang hasil karyanya sering menghiasi foto-foto commercial. Theo Chang dengan yang sangat energetik, selain menjelaskan teknik-teknik fotografi juga memberikan semangat kepada para pelajar yang hadir untuk selalu bersemangat dalam berlatih fotografi meski menggunakan kamera yang paling murah sekalipun. “There is no rules”, demikian motto sang fotografer. Artinya jangan terpaku kepada teknis-teknis fotografi yang njlimet, jus do it, just shoot, wow! Jelas ini jargon yang sangat memberi motivasi. O ya, istri sang fotografer, Cindy Jane, adalah pemandu acara ini lho, wah klop deh, suami istri sama-sama pemberi inspiratif. Workshop selanjutnya adalah mengenai cara membuat alunan musik digital dengan menggunakan perangkat software. Pembicara dalam materi ini adalah Ai Tambunan, seorang DJ profesional. Sama seperti konsep sebelumnya, sang DJ mengajarkan meremix irama musik dengan konsep hasta brata. Sample musik yang diperdengarkan membuat semua yang ada di aula Museum Wayang terbawa suasana beat-beat-nya. Kepala, pundak dan telapak kaki saya pun refleks menghentak-hentak mengikuti irama musik tekno itu. Selanjutnya adalah workshop teknik photoshop. Di session ini peserta diajarkan bagaimana cara menggambungkan beberapa foto menjadi satu buah foto dengan komposisi yang pas. Sepanjang acara tersebut, kuis dan door prize terus dibagikan kepada para audience yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan atau berani di panggung menampilkan performance yang diminta pembawa acara. Dan ternyata para pelajar itu hebat-hebat lho, ada yang mampu menampilkan tarian Bali dan tarian Saman. Dengan gembira mereka pun mendapat door prize berupa tiket gratis Wayang in Symphony : The Concert, bag pack, dan hadiah lainnya dari Standard Chartered Bank sebagai sponsor.

 
Meriah acaranya, meriah hadiahnya....


Pertanyaan para pembaca mungkin adalah : kenapa harus wayang, fotografi dan musik? Ternyata acara pada hari Sabtu itu adalah satu rangkaian dari sebuah hajatan besar bertajuk Wayang in Symphony : The Concert, sebuah konser musik kerjasama Yayasan Lontar dan Orkes Simfoni Jakarta. Konser musik itu akan men-sinergi-kan musik orkestra dengan musik gamelan wayang, dan akan diadakan pada tanggal 24 November 2012 di Gedung Teater Jakarta. Nah, para pemenang lomba fotografi dan lomba remix lagu, acara pemberian hadiah dan karyanya akan ditampilkan dalam acara tersebut. Menjelang tengah hari, keseluruhan acarapun kelar, setelah melihat-lihat koleksi di Museum Wayang, makan siang sambil berbincang dengan sebagian panitia, kamipun kembali ke cibubur. Saat perjalanan pulang dan melihat wajah antusias anak-anak, saya hanya berharap dan berdo’a semoga suatu saat kelak mereka ada yang mendapat Wahyu Makutarama dan menjadi Parikesit, pemimpin bangsa yang akan membawa Indonesia ke situasi gemah ripah loh jinawi, amin.

 Backgorund-nya Gatotkaca, yang depan Kresna sama Werkudoro...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar