Rabu, 18 Januari 2012

Menyaksikan Liukan Naga di Binus

Sang artis, Sonni Harjo Sawunggaling, di depan karyanya.

Sebuah undangan berwarna merah menyala diantar oleh OB di sekolah Senin kemarin. Pengirimnya ternyata seorang kenalan yang sudah sekian lama tidak bertemu, Sonni Harjo Sawunggaling. Buat saya, sosok yang sekeren namanya ini bukanlah orang lain. Dia adalah adik dari kepala yayasan tempat saya mengajar, Mr. Anin Baroto. Yang membuat saya terkesima, undangan tersebut adalah undangan menghadiri pembukaan pameran lukisan, dimana salah satu artisnya adalah mas Sonni ini. Judul pamerannya sangat menjajikan, “Pameran Lukisan & Kaligrafi Tionghoa – Edi & Murid-Murid”. Rasa penasaran dan kaget jelas mengganggu benak saya. Sejak kapan mas Sonni yang saya kenal sebagai seorang pengusaha ini mendalami seni lukis? Hebatnya, pameran yang diselenggarakan di lobby kampus Universitas Bina Nusantara mulai 16 Januari 2012 itu adalah pameran lukisan bergaya Tionghoa, sebuah aliran lukisan dunia yang berkembang sejak tiga ribu tahun yang lampau.


Maka, sekitar jam tujuh malam, sore harinya, saya dan Mr. Anin – yang juga mendapat undangan, sudah memasuki lobby kampus Universitas Bina Nusantara yang berada di sekitar Senayan. Herannya, Jakarta yang sudah 3 hari diguyur hujan terus menerus itu, petang itu mendadak cerah membuat suasana pameran terasa hangat. Senyum sumringah mas Sonni menyambut kedatangan kami di lobby gedung pameran. Acara pembukaan memang belum mulai, tapi ruang pameran terlihat sudah penuh dengan pengunjung. Suasana imlek yang masih seminggu lagi itu sudah terasa memenuhi ruangan. Lukisan-lukisan di dinding pameran yang tersorot lampu itu menyatu dengan anggunnya langkah kaki para pengunjung.

Suasana pameran

Selanjutnya sayapun membaur dengan pengunjung lain menikmati goresan kuas di atas kertas atau kanvas yang membentuk figur-figur khas daratan Tiongkok sana, mulai rampingnya pohon-pohon bambu, ayam, udang, bangau hingga landscape daratan Tionghoa, lengkap dengan liukan batang-batang pohon dan kolam penuh teratai.

Mas Sonni yang sore itu mengenakan busana batik warna putih cerah dan didampingi istri, ibu mertua dan dua orang putranya itupun mengajak kami dan beberapa kawan yang lain menyusuri lorong pameran hingga sampai di deretan lukisan karyanya. Dengan merendah dia menyatakan bahwa memang lukisannya ditaruh di deret bagian belakang karena minder bersebelahan dengan lukisan sang guru dan teman-temannya yang sudah lebih senior. Tapi buat saya yang awan lukisan Tionghoa karena terlalu mendalami naturalisme, sulit membedakan mana hasil pelukis senior maupun yunior karena semua terlihat mampu memanjakan mata, sama indahnya. Hal senada pun disuarakan oleh teman-teman mas Sonni yang lain. Rata-rata mereka tidak menyangka bahwa sang pengusaha muda ini mampu menghasilkan karya yang memukau itu. Sebuah lukisan pohon dengan background merah menyala karya mas Sonni membuat saya enggan memalingkan wajah ke lukisan lain, saking indahnya. Dengan bersemangat mas Sonni menceritakan jatuh bangunnya dia dalam mendalami seni lukis Tionghoa, dimana setiap bentuk harus dilakukan dalam satu goresan kuas itu. Jika goresan salah, baik dalam bentuk maupun gradasinya, maka media berupa kertas atau kanvas bakalan menjadi penghuni keranjang sampah alias dibuang dan harus diulang lagi.

Sang artis, diantara penggemar dan keluarga

Dalam pembukaan pameran itu, berkesempatan pula sang guru, Edi Widiyanta memamerkan kelihaiannya menarikan kuas di atas kertas membentuk kaligrafi dan lukisan indah. Melihat demontrasi itu ingatan saya langsung menembus ruang dan waktu kembali ke dunia Tiongkok jaman “baheula” seperti yang saya lihat di film-film Jet Li dan film-film silat besutan Ang Lee. Tarian kuas sang guru serasa liukan magis jurus-jurus kung fu penuh misteri, terkadang gemulai seperti liukan ular, terkadang ganas seperti terjangan naga. Maka dalam hitungan menit terciptalah dua kaligrafi dan satu lukisan indah yang langsung ditawarkan kepada para pengunjung.


Liem Swie King, legenda dan maestro bulutangkis Indonesia turut mengagumi lukisan Sonni Harjo Sawunggaling



Yang membuat saya makin terkesima sore itu adalah karena ternyata ibu mertua mas Sonni, Ny. Sumartini Rahman pun ikut memamerkan kayanya. Ternyata mereka berdua “kompakan” belajar pada mas Edi Widiyanta. Ibu mertua mas Sonni ini bahkan sudah sekitar dua tahun mendalami seni lukis Tiongkok kepada sang guru. Jiwa kelembutan seorang wanita terlihat jelas pada goresan kuasnya yang membentuk untaian buah anggur dan aneka tumbuhan lainnya, pas sekali untuk menerjemahkan “soul” lukisan Tionghoa yang penuh harmoni, tenang dan elegan. Sosok gemulai lain yang sore itu juga menjadi bintang pameran adalah Lisa Tjokroadhiguno. Wanita anggun tersebut adalah pemilik Binus dan merupakan murid ke-8 Edi Widiyatna. Sebelumnya, dia menekuni oil painting, dan kini, pesona lukisan gaya Tionghoa ternyata mampu memikatnya. Sejumlah karyanya pun menimbulkan pesona. Pemberian bunga kepadanya saat pembukaan pameran menambah kagum pengunjung kepada wanita yang tetap terlihat cantik diusianya itu.




Lisa Tjokroadhiguno, antara bunga, lukisan dan keanggunan.


Sayangnya, keinginan saya untuk bisa berlama-lama menikmati alam Tiongkok harus terhenti karena harus mendampingi Mr. Anin kembali ke Cibubur. Sepanjang perjalanan pulang, di dalam mobil, landscape daratan Tionghoa lengkap dengan para pendekarnya yang sedang berlatih taichi seakan terus memenuhi rongga kepala saya. Sementara sang guru tampak sedang asyik menarikan kuasnya membentuk kaligrafi indah……. Selamat buat mas Sonni beserta guru dan kawan-kawannya, semoga sukses dengan pamerannya. Selamat tahun baru imlek buat yang merayakannya, Gong Xi Fa Chai.

1 komentar:

  1. selamat sonny harjo s.

    pengusaha sukses, artis handal & terutama teman yg baik sejak dari SD sampai sekarang...

    Best regards dari Maryland, USA
    Tenri.

    BalasHapus