Di akhir tahun ajaran ini, seperti biasa banyak kisah terselip menjelang liburan panjang. Satu hal menarik yang minggu kemarin terjadi adalah beberapa “kisah cinta” yang semerbak di antara siswa-siswi saya. Sebagai pendidik dan “penguasa sekolah” semua hal memang tertangkap pandangan mata saya yang setajam silet ini. Makanya saya selalu gemes, jika ada berita atau kasus kejadian tidak menyenangkan di sekolah manapun yang terlewat dari dari pengawasan guru-gurunya. O ya, semula saya agak ragu menyebutkan sebagai kisah cinta, tapi setelah dikaji dari berbagai penerawangan, terpaksa saya tetap menggunakan bahasa manis itu, toh kata-kata cinta sendiri bukanlah sesuatu yang diharamkan. Ya, Beberapa dari mereka terpaksa meneteskan air mata karena harus berpisah dengan soulmate atau yayang-nya. Hal itu memang harus terjadi karena mereka terpaksa harus pindah ke sekolah lain, bahkan ada yang ke luar negeri.
Walau hanya sekedar meneteskan air mata, tapi buat mereka, saya yakin hal itu adalah perasaan yang sangat menyiksa batin sebagai buah perkembangan kejiwaan mereka yang belum stabil. Masalahnya sekarang, buat sebagian teman-teman guru kisah cinta itu terasa cepat bermekaran di usia belasan mereka, ibarat bunga yang kebanyakan pupuk kali…. Ya memang belum sampai ke tahap ekstrim, tapi buat kami para guru sekaligus orangtua yang terlahir di abad jadul terkadang masih sangat konservatif dengan urusan beginian.Tapi buat saya sebagai pengamat cinta (halaaah!) hal itu tidaklah terlalu mengherankan. Saya masih ingat perasaan cinta mulai hinggap di diri saya saat usia-usia SMA (lebay dot com!), seiring dengan mendayu-dayunya film Gita Cinta Dari SMA-nya Rano Karno dan Yessi Gusman yang mengharu biru itu. Tentu saja ungkapan cintanya tidak dinyatakan dengan coklat, bunga, nonton apalagi hang out seperti jaman sekarang, tapi cukup dipendam dalam hati. Alhasil jerawat pun bertebaran di muka saya. Walau akhirnya perasaan cinta saya terpendam kabeh sampai lulus-lulusan(hiks!), tapi di jaman itu, usia-usia SMA atau Universitas adalah usia yang “sah” untuk jatuh cinta, untuk pacaran.
Nah kini, masuk akalkah jika usia-usia SMP atau mungkin di usia yang lebih muda lagi, banyak para remaja, ABG dan teenager yang sudah tersambar anak panah dewi Amor itu hingga klepek-klepek? Melihat jaman yang sudah digilas modernisasi tanpa bisa dikontrol seperti sekarang ini, buat saja sih hal itu adalah sebuah “kewajaran”. Lihatlah, betapa sekarang tontonan remaja di televisi bertema cinta seperti sinetron, infotainment, reality show dengan leluasa menguasai ruang-ruang keluarga kita. Belum gosip-gosip artis muda panutan mereka yang berbumbu cinta. Bahkan sekarang sinetron dengan setting pesantren pun isinya cinta! Tempo hari waktu Justine Beiber show di Indonesia, entah berapa banyak siswa-siswi saya (kebanyakan perempuan) yang merengek ke orang tuanya untuk dibelikan tiket, seolah tidak peduli dengan harga tiket yang mencapai 2 juta rupiah itu. Dan penyanyi tembang cinta yang masih ABG itupun memang dengan sukses menebar pesona di kalangan penggemar belianya.
Memang berjuta rasanya....... (pic:IST)
Serta lihatlah aneka gadget yang menjadi pegangan wajib abg-abg kita itu. Minimal handphone dengan segala kecanggihan aksesnya, bahkan untuk mereka yang tinggal di kampung dan pelosok. Aneka gadget lain seperti blackberry, ipad, dan laptop pun sudah jamak menjadi mainan mereka. Dari berbalas SMS, mengunduh, bertukar aneka file dan chatting kini dengan mudah dilakukann dengan perangkat kecil nan canggih itu. Kini budaya SMS-an, browsing, BB-an, FB-an dan aneka kegiatan digital lainnya sudah menggantikan budaya membaca ataupun belajar. Kebiasaan nonton film dan konser sudah menggantikan aktifitas mojok di perpustakaan atau olahraga. Mereka dengan mudah mengakses segala informasi bahkan untuk konten dewasa sekalipun.
Sebagai generasi Justine Beiber, generasi Hanna Montana, generasi American Pie, dan seabrek sebutan generasi lainnya sebagai lambang liarnya modernisasi, pengaruh tontonan melalui tivi, movie, internet dan media digital lainnya memang (dan pasti) memberikan pengaruh yang sangat signifikan bagi perkembangan emosi dan mental mereka. Jadi jangan salahkan mereka jika mental cinta, mental melankolis dan mental lebay saling berebutan mengisi sel-sel otak, pikiran dan kepribadian mereka berserabutan mendobrak kisi-kisi budaya, etika dan agama. Tentu saja saya tidak menyalahkan para orang tua yang karena tuntutan kehidupan banyak mengorbankan waktunya, sehingga anak-anaknya diasuh oleh blackberry, televisi atau internet. Di saat para orang tua gelagapan bagaimana cara membuat akun di facebook, anak-anak mereka yang masih berusia belasan sudah mahir chatting, email, masanger atau web cam, sebuah budaya dan pola hidup yang jika dibiarkan dapat menjadi bola panas yang sangat liar tidak terkontrol.
Terakhir, saya tidak akan memberikan tips, solusi atau apalah, karena banyak orang tua yang ternyata tetap enjoy dengan hal ini. Lagipula ini hanya tulisan seorang pemerhati bukan tulisan seorang ahli. Yang jelas, kembali ke awal tulisan, jika ada manusia jadul seumuran saya yang bertanya pantaskah para belia itu jatuh cinta? Tidak usah bingung, renungkanlah bahwa jaman memang berputar teramat cepat, sembari menikmati syair lagu Doel Sumbang : Cinta itu anugrah, maka berbahagialah, sebab kita sengsara, bila tak punya cinta……
Tidak ada komentar:
Posting Komentar