Minggu, 04 September 2011

Filipina, Asia Yang Amerika

Makati, di malam hari. (Pic from : http://blacklognz.blogspot.com)

Judul artikel saya kali ini jelas tidak berlebihan. Filipina memang berbeda secara kultur budaya dibanding negara Asia lainnya. Tidak seperti Indonesia, Malaysia dan Brunei yang sangat Melayu. Atau seperti Vietnam, Thailand dan Kamboja yang sangat Indochina, Filipina sangat “bernuansa” Amerika. Barangkali itu adalah analisa serampangan dari saya pribadi. Tapi paling tidak, itulah hal yang saya tangkap ketika seminggu saya di sana sebagai staff pameran Wayang Wahyu di Universitas Santo Tomas, Manila. Dari bahasanya, cara berpakaian gadis-gadisnya yang lebih “terbuka” hingga model plat mobilnya, sangat terasa sekali gaya Amerikanya. Beberapa teman guru dari Filipina yang menceritakan mengenai keadaan negerinya sewakatu masih di Jakarta memang sudah membersitkan perkiaraan, bahwa Filipina memang berbeda. Tapi toh, saat saya di sana, beberapa hal membuat saya bengong.


Yang pertama adalah kebiasaan mereka memakai bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari. Maka tak heran, jangankan pegawai atau pejabat , dari mulai supir, penjaga toko, anak SD, bahkan pembantu di rumah saya menginap sudah cas cis cus berbahasa Inggris. Walaupun sesekali bahasa Tagalog masih dipakai, tapi jika seseoarang mengajak mereka bercakap-cakap dalam bahasa Inggris, dengan sigap mereka akan menanggapinya. Tidak seperti di Indonesia, anak SD di sana sudah sangat mahir berbahasa Inggris. Sebagai guru, tentu saja saya langsung teringat akan sekolah-sekolah di Indonesia yang berebut ingin mendapat predikat RSBI tapi realisasi pemakaian bahasa Inggrisnya masih setengah-setengah, hingga saat lulus SMA (bahkan Universitas) saat bertemu turis atau interview dalam bahasa Inggris, mereka masih gelagapan.

3Cycle, sedang antri menunggu penumpang.

Sebagai biker, pengamatan saya beralih ke situasi jalan raya. Jika tidak memperhatikan supir yang berada di posisi kiri mobil, serta adanya angkot bernama Jeepney yang heboh dengan warna dan assesoris, mungkin saya merasa masih ada di Jakarta. Ya, suasana jalan raya di Manila, tidak jauh berbeda dengan di Jakarta. Dari mulai jalan tolnya, hingga suasana di perempatan lampu merahnya yang berseliweran dengan pedagang asongan. Macet dan pemandangan di kanan-kiri jalan sekilas mirip. Makati sebagai daerah bisnis elit mengingatkan saya akan Sudirman-Thamrin dan daerah di pinggir kota Manila mengingatkan saya akan daerah-daerah Tangerang atau Kebayoran Lama, macet, ramai dengan pasar-pasar tradisional di pinggir jalan. Tidak seperti di Jakarta yang penuh dengan kendaraan roda dua, di Manila, pengendara motor terbilang sedikit. Kebanyakan motor di sana dimodif menjadi sarana angkutan semacam ojek. Para abang ojek di sana menambahkan gandengan disamping kanannya guna membawa penumpang, lengkap dengan atapnya. Jadilah itu semacam “betor” alias becak bermotor. Seperti juga di Jakarta, para ojeker itu mangkal di setiap perempatan jalan atau di depan mal, lengkap dengan timernya yang mengatur giliran penarikan penumpang.

Jika jalan-jalan di Mal, tidak seperti di Indonesia yang kebanyakan cuma bersenjatakan pentungan, jangan heran jika satpam di sana dilengkapai dengan senjata api alias berbeceng ria, dari mulai jenis revolver hingga shotgun. Tidak hanya terbatas pada satpam bank, semua satpam mulai penjaga mal, toko-toko kecil hingga kompleks perumahan semuanya bersenjata api. Seragam putih biru mereka pun sangat rapih, lengkap dengan sarung tangan putih mengingatkan saya akan para kadet tentara Amerika.

Di depan musium Universitas Santo Tomas.

Dan tempat favorit saya di sana adalah Universitas Santo Tomas. Sebagai guru, situasi belajar di universitas yang sudah berusia 400 ratus tahun itu, membuat saya terkagum-kagum. Para mahasiswa yang belajar di sana, sekali lagi mengingatkan saya akan situasi belajar di film-film Holliwood. Halaman universitas yang super luas itu menjadi ajang kreativitas mereka dalam berlatih, dari mulai fotografi, menari, jogging dan segala aktivitas kampus lainnya. Saat saya mengitari halaman kampus, banyak di antara mereka sedang berlatih menari guna persiapan kompetisi. Teman-teman mereka tidak terlalu terpengaruh dan sibuk dengan kegiatan lainnya, seolah itu adalah hal biasa. Menjelang petang hingga malam menjelang, halaman kampus semakin meriah dengan berbagai aktivitas mahasiswa. Semua terlihat tekun berlatih. Bahkan di lorong-lorong kampus yang mulai gelap, terlihat mereka masih sibuk membaca buku. Jarang yang terlihat membuka laptop guna facebookan atau tweeteran. Maklum, peraturan akademis kampus ini sangat ketat. Jika mereka tidak lulus dalam waktu yang ditentukan mereka akan dikeluarkan, yah, mirip-mirip system drop out di Indonesia.

Tidak seperti di Jakarta yang penuh dengan aneka tempat hiburan yang variatif, kata teman saya yang orang Filipina, sarana rekreasi di Manila terhitung sedikit. Jika di Jakarta kita bisa ke Ancol, Taman Mini, kebun binatang atau Puncak, maka orang sana lebih banyak menghibur diri ke mal-mal yang memang banyak bertebaran di Manila. Berbelanja dan nongkrong di Mal menjadi kebiasaan berbagai kalangan di sana. Bahkan orang dewasa dengan cuek bermain tembak-tembakan atau balap-balapan di Time Zone.

Intramuros, benteng tua peninggalan Spanyol.

Hari terakhir saya di Manila, saya sempat berkunjung ke Intramuros, semacam area situs budaya yang sangat terawat, berisi bangunan tua dan benteng peninggalan Spanyol (Filipina pernah dijajah Spanyol selama kurang lebih 3 abad dan melakukan perlawanan terhadap Amerika dan Jepang sebelum merdeka). Intramuros, yang berada di tepian sungai ini dulunya adalah pusat pemerintahan pada masa pendudukan Spanyol. Di sini dibangun sekolah, gereja, kantor gubernur dan bangunan-bangunan penting lainnya. Di tempat ini para generasi muda Filipina dapat mempelajari sejarah negerinya.

1 komentar:

  1. maraming salamat poh...terima kasih ulasan ttg filipina...jd kangen pingin kesana lagi

    BalasHapus