Minggu, 14 Februari 2010 kemarin, sepertinya merupakan tanggal yang sibuk buat orang-orang. Di beberapa media online, malah disebut sebagai hari tabrakan maut. Hari tabrakan maut? Sepertinya berlebihan, tapi nggak apa-apalah, toh tabrakan itu tidak memakan korban jiwa selayaknya tabrakan mobil atau tabrakan motor. Ya, hari itu terjadi “tabrakan” antara dua hari besar. Yaitu hari raya Imlek dan hari valentine. Hari valentine memang bukan hari raya, tapi bagaimana seandainya yang mau merayakan valentine, ingin pula merayakan imlek atau sebaliknya? Yah, namanya juga tabrakan! Maka selayaknya tabrakan, harus ada yang jadi “korban”. Atau bisa saja diatur agar kedua acara tersebut bisa dinikmati semuanya dengan “smooth”.
Dan saya, sekali lagi sebagai seorang pemerhati masalah sosial yang terkadang kena sial ini, mempunyai “tugas” untuk mengomentari semua fenomena-fenomena yang ada, termasuk hari tabrakan maut itu. Pertama, saya sediki kaget dengan keluarnya fatwa MUI mengenai haramnya hari valentine. Mau tidak setuju, saya percaya bahwa di dalam tubuh MUI merupakan kumpulan para ulama yang sudah teruji kemampuan dan kebisaannya lahir dan batin. Mau setuju, lah para murid saya banyak yang memberi coklat yang rasanya super mak nyus untuk saya nikmati, tentu saja dengan disertai ucapan selamat hari kasih sayang itu. Masa sih saya menolak ungkapan rasa kasih sayang itu, wong saya haqul yakin mereka memberikannya dengan tulus selayaknya saya tulus membimbing dan mendidik mereka, anak-anak yang lucu itu. Bingung? Tentu saja tidak. Saya yang ahli ini tentu saja menganggap bentuk kasih sayang mereka kepada saya atau rasa sayang saya kepada mereka adalah sebuah kebiasaan sebagai bagian dari proses pendidikan. Saya sudah sayang kepada mereka sejak pertama kali mereka menjadi murid saya, kalau mereka memberikan sesuatu kepada saya, apapun bentuknya, kapanpun dan dimanapun, masa sih saya bakalan menolaknya. Mungkin, momennya memang pada tanggal itu, ya tidak usah diperdebatkan lah. Toh, dulu-dulu atau kemarin-kemarin banyak juga murid-murid saya yang memberi saya baju koko, sajadah, peci, fried chicken, jus mangga, mekdi, dasi, gesper, handuk, de el el….. So, Saya terima rasa sayangnya, saya terima coklatnya, titik. Gicu aja kok repot!
Yang kedua, saya juga “merayakan” hari imlek itu. Selayaknya hari raya lain yang pasti dirayakan dengan riang gembira, hari raya bangsa Tionghoa itu pun saya rayakan dengan suasana hati yang sama, yaitu dengan menonton DVD. Lah, hubungane opo? Ya ono lah, wong DVD yang saya tonton itu, artisnya adalah bintang favorit saya dari china sana, Jet Li. Judulnya Hero. Itu untuk yang kedua kalinya (atau ketiga kalinya) saya menonton film ini. Pas mau menyetel film-nya, saya memang tidak nawaitu mau merayakan imlek, nanti malah panjang deh urusannya.
Filmya memang film lama, tapi entah kenapa hari itu saya kangen melihat jotos-jotosannya Jet Li. Mungkin karena saya sudah lama tidak melihat film kungfu, setelah kemarin-kemarin terus diguyur dengan film-film Hollywood. Atau karena memang dalam suasana imlek, yang membuat saya ingin menemukan yang kecina-cina-an. Makna imlek yang menebar kebajikan dan persaudaraan, memang sedikit tergambar dalam film itu. Walaupun tidak pas banget, akan tetapi saya melihat unsur persaudaraan yang begitu “gila” yang ditunjukan oleh si pendekar tanpa nama (diperankan Jet Li). Bagaimana tidak gila, karena teman-temannya sesama pendekar banyak yang mengorbankan nyawanya secara sukarela di ujung pedangnya demi memberikan kesempatan kepadanya untuk menjadi “pemenang” sehingga dia berkesempatan duduk minum teh sejauh sepuluh langkah dengan sang kaisar diktator yang juga akan dibunuhnya. 10 langkah adalah jarak yang sangat memungkinkan baginya untuk membunuh sang kaisar. Tapi begitu niatnya ketebak sang kaisar dan pedang sudah berkibas, bukan ujung pedang yang menusuk punggung sang kaisar justru gagangnya. Disertai bisikan nasehat bijak agar sang kaisar berhenti mengumbar nafsunya dan hidup lebih lama untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan jajahannya. Rupanya si pendekar nameless sadar betul, jika sang kaisar dibikin modar, malah bakalan terjadi pertumpahan darah lanjutan dalam memperebutkan warisan kerajaan sang kaisar. Tapi dasar kaisarnya tidak mau kalah set, si pendekar malah dihujani dengan anak panah. Ending yang bikin saya nyesek, kok ya si jagoannya pasrah saja hingga koit, wong di scene sebelumnya, doi dihujani ribuan anak panah, enteng saja dihalau dengan kibasan pedangnya yang super cepat itu. Dan akhirnya menurut sejarah, memang kaisar inilah yang nantinya bakalan membawa cina ke awal kebesarannya.
Yang ketiga, saya “merayakan” kasih sayang itu dengan menjumpai teman-teman blogger di acara hari ulang tahun KOBOI (Komunitas Blogger Otomotif Indonesia) di Cipete kemarin. Acaranya sendiri memang meriah dan penuh kasih sayang, karena banyak helm yang dibagikan (saya dapat satu, lho) dengan penuh rasa kasih sayang dari panitia dan sponsor. Cuma, biar seru, untuk acara ini saya akan mempostingnya dalam tulisan terpisah……
Thanks to my lovely students : Haibin, Al, Arwen, Mahesa, Arwen for very mak nyus chocolate!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar