Tangisan ibunda Alawy
Yusianto Putra, tangisan kita, tangisan Indonesia.
Saat
membaca dan melihat sajian berita di Koran dan telivisi mengenai tawuran
pelajar antara SMA 70 dan SMA 6 pada 24 September 2012, entah mengapa saya teringat tulisan Pitoyo
Amrih di novel wayangnya, “Memburu Kurawa”. Sebagai penggemar cerita wayang,
saya menyadari benar ternyata memang banyak peristiwa kehidupan ini yang harus
berkaca pada cerita wayang sebagai “bayangan kehidupan”, termasuk juga tawuran. Demikian
yang ditulis pengarang yang selalu menulis cerita wayang itu : “Mereka begitu banyak. Tidak mudah untuk
dihafal, begitu gampang dilupakan. Tapi begitulah, mereka terlanjur dilahirkan
dan sudah menjadi suratan takdir terabaikan di usia kanak-kanak mereka. Apa yang
ada di kepala mereka hanyalah apa yang menurut mereka baik untuk diri mereka.
Tak pernah berfikir tentang perasaan orang lain, tak pernah berfikir untuk
berbagi menciptakan suasana bahagia bersama. Yang mereka bisa lakukan tak lain
hanyalah menebar angkara dan menciptakan keresahan serta ketakutan”.
Sambil
meresapi barisan kalimat itu, hati saya ikut menangis meratapi kematian Alawy
Yusianto Putra, pelajar SMA 6 yang menjadi korban tawuran itu. Saya tidak
mengenal korban, saya bukan gurunya dan bukan siapa-siapanya. Tapi sebagai sesama
orang tua, saya bisa merasakan haru biru orang tuanya. Tetesan air mata dan penyesalan
tidak akan memupus kesedihan itu. Melihat foto jasadnya-nya yang tersebar di internet, saya benar-benar
bergidik. Darah merah kontras membasahi seragam putih-putihnya. Hati orang
tua mana yang tidak remuk melihat anaknya menemukan jalan kematian seperti
itu. Entah orang berperasaan macam apa yang tega melakukan hal itu kepada
sesamanya.
Memang
terlalu ekstrim dan sembrono untuk menganalogikan para pelajar harapan bangsa
itu dengan wadyabala Kurawa, sebuah bangsa dalam dunia pewayangan yang hobbynya
jotos-jotosan itu. Terlalu dini pula untuk menghakimi para pelajar itu sebagai
insan yang terabaikan. Tapi sebuah perilaku yang selalu mengedepankan hawa
emosi, amarah dan kekerasan tanpa memandang sisi kemanusiaan, kasih sayang dan
welas asih memang salah satu laku yang dianut Kurawa. Jalan menipu penuh
kelicikan dan keangkaramurkaan dengan santai mereka nikmati demi mewujudkan
ambisi pribadi. Ya, sejak kecil memang Kurawa hobby banget dengan kerusuhan,
gontok-gontokan dan membuat kekacauan. Jangankan dengan orang lain, antar
saudara sendiri yang jumlahnya 100 orang itupun mereka jarang akur. Demikian
yang tertulis di “Memburu Kurawa”. Dan seandainya para pelajar itu yang tawuran
sempat mendapat wejangan kamanungsan/kemanusiaan dari Begawan Abiyasa, kakek Kurawa atau dari Resi Bhisma, panglima perang Hastinapura yang bijaksana, kemudian
menerapkana ajarannya setiap hari, mungkin kita masih bisa melihat senyum Alawy
Yusianto Putra, pelajar SMA 6 yang tewas mengenaskan saat asyik menikmati makan
soto itu. Beberapa hari kemudian, seorang pelajar lain, Deny
Januar kembali bersimbah darah tersungkur menjadi korban tawuran antara SMK
Yake Kampung Melayu dengan SMK Kartika Zeni. Siang itu, keluarganya hanya
menerima jazadnya yang terbujur kaku tanpa bisa mendengar kembali sapaan atau kembali
melihat senyum pemuda itu.
Young and dangerous, bukan! ini bukan wajah kita, please.......
Sebagai
pendidik, tentu saja saya tidak langsung mencari si embek alias kambing hitam
untuk menjadi sasaran kesalahan. Begitu banyak insan pendidikan yang tidak
serta merta menjadi terdakwa dalam sebuah tawuran pelajar. Ada siswa, guru,
pengawas, Kasi Kecamatan, Dinas pendidikan, hingga Kementrian Pendidikan
Nasional. Di luar itu ada kita semua yang menjadi bagian dari kesatuan sosial
integral bernama masyarakat. Menentukan siapa yang salah memerlukan proses dan
penelusuran yang panjang dan yang lebih sering adalah berupa wacana dan paparan
para ahli yang ternyata belum menyelesaikan akar masalah. Para ahli pendidikan,
pakar sosial hingga pejabat telah mengeluarkan statement dan teori yang
terlihat ampuh tapi hingga kini belum terlihat hasilnya. Atau jangan-jangan
kita sebagai warga masyarakat ikut memikul beban kesalahan yang menyebabkan
terjadinya tawuran atau bentuk kekerasan lainnya. Tawuran sudah bukan menjadi monopoli urusan pelajar yang melakukannya, tapi sudah menjadi bagian dan tanggung jawab kita sebagai kesatuan sosial masyarakat.
Sebagai
sesama pendidik saya merasa ada kesalahan, kekurangan dan ketidak sempurnaan
dalam hal membina akhlak, positive thingking dan penanaman jiwa welas asih
kepada siswa. Mungkinkah budaya kekerasan yang tertayang di film, televisi dan
games, yang menjadi santapan mereka hamper setiap hari sudah merubah perilaku
santun mereka. Atau sistematika kehidupan sosial perkotaanlah yang merubah
wajah-wajah polos mereka. Para ahli pendidikan dan sosial dengan mudah akan
menemukan jawaban atas fenomena tersebut. Permasalahannya adalah apakah ada
implementasi dan tindakan nyata yang tepat guna dan efektif untuk menyetop
budaya tawuran? Sebagian memang sudah diakukan. Dari mulai penggundulan rambut,
mengeluarkan siswa, penggabungan hingga penutupan sekolah. Tapi tawuran kembali
terjadi, pesona tawuran ibarat cahaya api lampu bagi para laron. Terang benderang
penuh pesona untuk didekati tapi akhirnya membakar sayap-sayap mereka hingga
mereka tak mampu lagi terbang, terjatuh, merayap dan menemukan jalan kematian
mereka.
Agak
susah saya membayangkan tapi kira-kira mungkin begini, saat pelajaran,
anak-anak dengan tekun menyimak, saat sholat dzuhur tiba, anak-anak pun
berjamaah dengan khusu’ sholat, tapi saat pulang sekolah, mereka dengan
bersemangat menyiapkan berbagai peralatan tempur : samurai, golok, celurit, gir
atau minimal batu. Dalam sekejap wajah polos para pelajar itu berubah menjadi
beringas. Dalam sesaat aktivitas akademis berubah menjadi aktivitas fisik penuh
kekejaman. Dengan gagah mereka bertempur membela yang namanya kesetiaan dan
solidaritas. Kesetiaan dan solidaritas kepada siapa? Entahlah mungkin kepada
teman, senior, sekolah atau justru tanpa motif apa-apa. Yang jelas event
tawuran memberi mereka semangat, encouragement dan “keceriaan” yang tidak
mereka dapatkan saat di dalam pagar sekolah. Jalanan, pentungan dan aneka
senjata, lengkap dengan umpatan dan kata-kata kasar adalah seni yang indah di
dalam pikiran mereka.
Sedikit
berfilsafat, adakah beda antara tawuran dan perang? Wikipedia menyebut perang
adalah sebuah aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit, adalah kondisi
permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara dua atau lebih kelompok manusia
untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan. Jika kata “untuk
melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan” diganti dengan penyebab
tawuran, maka tawuran adakah sebuah skala kecil dari perang. Tanpa angkatan
bersenjata, tanpa senapan (tapi diganti dengan senjata yang lain), tanpa
peralatan perang dan tanpa kenaikan pangkat. Tragisnya, tawuran dilakukan oleh
bangsa sendiri, dan dengan penyebab yang sangat absurd, membuat mereka yang
bernalar geleng-geleng kepala. Mereka, anak-anak belia itu menantang musuhnya dengan
membusungkan dada, tanpa rasa takut (karena banyak temannya) mereka menyosong
musuh sambil mengayunkan golok, celurit, samurai, gir dan aneka senjata
lainnya. Pikiran dan kesadaran mereka lenyap tertutup oleh candu nikmatnya
melukai lawan. Sekolah hanyalah menjadi wadah penyaluran hobby kekerasan
mereka.
Lantas,
salahkah mereka? Para pelajar belia yang memang ditakdirkan untuk berfikir
pendek dan mengedepankan emosi itu. Atau kita sebagai orang dewasalah yang
salah? Kembali marilah kita berkaca pada diri kita sendiri. Berkaca pada
profesi saya sebagai guru, masih tetapkah kita mengawasi siswa kita saat bukan
jam pelajaran? Tahukah para bapak ibu guru apa yang mereka lakukan di
sudut-sudut sekolah saat jam istirahat. Mereka sedang membahas hukum Newton
atau sedang memperbincangkan strategi tawuran. Saat keluar sekolah, apakah kita
tahu kalau mereka langsung pulang atau melenggang menuju gang sempit tempat
mereka menyembunyikan samurai, golok atau celurit. Tahukah kita, jika mereka
saling memanas-manasi dengan kata-kata yang tidak pantas diucapkan oleh
generasi santun di facebook dan twitter? Saya
mengamini pendapat beberapa ahli yang menjelaskan bahwa semua peristiwa
yang terjadi di masyarakat global berawal dari mata air unit kesatuan
sosial terkecil bernama keluarga. dan sebagai orang tua, tahukah kita dengan
siapa anak kita bergaul, apa isi tas sekolah mereka, benarkah mereka pergi ke
tempat les, benarkah mereka belajar di rumah teman? Sebagai orang tua, seberapa
jauh kita membekali anak-anak kita dengan kemapanan sikap dan mental, sehingga
tidak mudah dipengaruhi dan diprovokasi? Sebagai orang dewasa yang lebih dahulu
pintar dibanding mereka, marilah kita koreksi, tayangan, tontonan dan
aktivitas apa yang kita benamkan di otak-otak mereka setiap hari? Sudah adilkah kita memberi waktu kepada anak-anak kita, jam untuk bermain, ber-internetan, bersosialisasi dengan temannya dengan waktu untuk beribadah dan menanamkan kesadaran spiritual mereka? Sebagai orang yang melahirkan mereka, berapa lama waktu yang kita gunakan untuk bercengkerama dengan mereka guna menanamkan budi pekerti dan menanamkan kecintaan kepada keluarga dan sesama? Sebagai pembuat kebijakan, masih teruskah kita disibukkan dengan agenda-agenda sekolah unggulan, akreditasi, sertifikasi, RSBI tanpa diimbangi dengan implementasi pembuatan program kepada anak didik yang edukatif, membumi dan berkualitas? Masih akan teruskah negara kita dibanjiri dan dibombardir oleh arus modernisasi, eropanisasi, dan K-pop-isasi serta perilaku hidup konsumtif yang perlahan tetapi pasti akan menyapu bersih kearifan lokal kita? Jadi
sebenarnya, mereka yang salah atau kita yang kurang kontrol?
Bukan seperti ini kelulusan akhir sebuah sekolah.....
Terus
terang saya tidak rela, jika generasi muda itu menjadi bangsa Kurawa, karena
sesakti-sakti-nya bangsa Kurawa dia akan terus dihujat dan selalu menemukan
jalan kebinasaan yang nista. Dan tugas kitalah para orang dewasa yang akan
mencetak mereka menjadi bangsa Kurawa atau bangsa Pandawa. Maka, marilah kita
siapkan untuk mereka, perilaku yang baik, perkataan yang baik, buku-buku serta
tontonan yang baik, dan perkenalkan kepada mereka ajaran-ajaran yang baik. Tugas
kitalah, orang dewasa, untuk menjadi Begawan Abiyasa
atau Resi Bhisma yang akan membimbing
generasi muda itu agar tidak selalu menuruti hawa nafsunya. Jika tidak, maka
bersiap-siaplah kita jika mereka akan tumbuh menjadi bangsa Kurawa, yang dalam
dunia pewayangan sudah dipastikan akan binasa. Jika baris kalimat tersebut
tidak membuat kita takut karena menganggap itu hanyalah cerita pewayangan, maka
kembalilah kepada falsafah wayang sebagai bayangan kehidupan. Dan sebagai
bayangan, dia akan selalu mengikuti kehidupan kita alias nyata……..
Bagus pak tulisannya, tapi sayang, kebenaran yang ada di tulisan pak herry cuma akan jadi wacana yang tidak akan pernah terwujud selama kepemimpinan yang di contohkan pemimpinnya masih sama, yaitu perang dalam kondisi tidak melibatkan fisik, yang berimbas ke peperangan fisik buat masyarakat.. :) tetep semangat menulis pak, siapa tau nanti pemimpinnya ada yang baca tulisan pak herry.. jadi anak didiknya pak herry gak ada yang jadi bangsa kurawa.. hehe
BalasHapus