Tangisan ibunda Alawy
Yusianto Putra, tangisan kita, tangisan Indonesia.
Saat
membaca dan melihat sajian berita di Koran dan telivisi mengenai tawuran
pelajar antara SMA 70 dan SMA 6 pada 24 September 2012, entah mengapa saya teringat tulisan Pitoyo
Amrih di novel wayangnya, “Memburu Kurawa”. Sebagai penggemar cerita wayang,
saya menyadari benar ternyata memang banyak peristiwa kehidupan ini yang harus
berkaca pada cerita wayang sebagai “bayangan kehidupan”, termasuk juga tawuran. Demikian
yang ditulis pengarang yang selalu menulis cerita wayang itu : “Mereka begitu banyak. Tidak mudah untuk
dihafal, begitu gampang dilupakan. Tapi begitulah, mereka terlanjur dilahirkan
dan sudah menjadi suratan takdir terabaikan di usia kanak-kanak mereka. Apa yang
ada di kepala mereka hanyalah apa yang menurut mereka baik untuk diri mereka.
Tak pernah berfikir tentang perasaan orang lain, tak pernah berfikir untuk
berbagi menciptakan suasana bahagia bersama. Yang mereka bisa lakukan tak lain
hanyalah menebar angkara dan menciptakan keresahan serta ketakutan”.